Pagi ini, hatiku sesak seketika melihat postingan di banyak grup WA gereja.
Pohon baobab tua di depan Gereja Katedral Santa Gemma Galgani Ketapang—yang selama ini ada di situ sebagai saksi bisu perjalanan iman umat Katolik di tanah kayong—telah tiada, ditebang dan dibakar.
Hilang, lenyap, seolah tidak pernah ada kisah yang melekat padanya. Seolah ia hanya sebatang kayu mati yang boleh disingkirkan seenaknya.
Saya pernah menulis tentang pohon ini. Tentang bagaimana Adansonia digitata—yang lebih dikenal sebagai Baobab atau “pohon kehidupan”—bertahan hidup dalam segala cuaca. Tentang kisah para misionaris Eropa yang konon membawanya ke Ketapang, menjadikannya satu dari hanya dua pohon sejenis yang pernah tumbuh di Indonesia waktu itu, satunya lagi di Kebun Raya Bogor. Baca di sini.
Tapi pagi ini, semua itu seperti tak pernah berarti.
Pohon yang dulu sering menemani masa kecil kami—saya, dan kawan-kawan putra altar katedral, dan Pak Frans Mboi selepas misa malam hari raya, sambil menyantap bihun atau kwetiau goreng di ruang tamu Wisma Keuskupan lama—telah tiada. Dihilangkan begitu saja, mungkin karena tak tahu kisahnya. Atau tahu, tapi tak peduli.
Itulah yang paling menyakitkan.
Saya tahu, pohon itu memang sudah mati. Tapi ia tidak pernah kehilangan maknanya. Karena dalam kematiannya pun, ia menyimpan jejak. Ia menyimpan sejarah. Ia menyimpan kisah yang tak bisa ditulis ulang ketika batangnya sudah jadi abu.
Katedral lama—yang menyimpan sejarah panjang perjalanan iman umat di Ketapang—juga sudah lebih dulu kehilangan bentuk aslinya. Kini, pohon baobab menyusul. Dua saksi bisu telah dihilangkan. Dan saya khawatir, yang berikutnya adalah ingatan kita sendiri.
Saya sedih, saya marah. Ternyata mudah sekali bagi kita untuk menghapus sejarah. Semudah menebang sebatang pohon dan membakarnya. Dan kita bahkan tidak tahu persis apa yang sebenarnya sudah kita hilangkan.
-FD-