Setiap kali saya melintas di depan Gereja Katedral Santa Gemma Galgani Ketapang, tak bisa saya lewatkan pemandangan pohon tua yang berdiri kokoh di sana. Pohon itu bukan sekadar pohon biasa, melainkan saksi bisu dari perjalanan umat Katolik di Ketapang, bahkan sejak masa awal misionaris Eropa menjejakkan kaki di tanah ini. Pohon ini adalah Adansonia digitata, lebih dikenal sebagai Baobab, pohon yang dijuluki sebagai “pohon kehidupan” karena kemampuannya bertahan hidup hingga lebih dari seribu tahun.
Konon, kisah yang sering diceritakan oleh para tetua adalah bahwa pohon ini dibawa oleh para misionaris dari Eropa. Pada saat itu, hanya ada dua pohon sejenis di Indonesia, yang satu lagi berada di Kebun Raya Bogor. Mungkin, tidak banyak yang menyadari keistimewaan pohon ini, apalagi dengan kemampuannya yang luar biasa—pohon Baobab bisa pulih dari kekeringan, bahkan jika kulitnya dilucuti, ia tetap mampu tumbuh kembali. Tidak jarang saya melihat pohon ini tampak seperti mati, layu tanpa daun, namun beberapa bulan kemudian ia kembali hijau, seolah bangkit dari kematian.
Namun, sayangnya, seiring berjalannya waktu, perhatian terhadap pohon ini semakin berkurang. Banyak umat yang mengacuhkan keberadaannya, mungkin tak sadar akan sejarah panjangnya. Baliho-baliho sering kali ditancapkan di depan pohon ini tanpa memikirkan dampaknya. Bahkan ada yang dengan seenaknya menancapkan paku ke batangnya atau memotong dahan-dahan yang tersisa, entah dengan alasan apa. Rasanya, pohon ini terlupakan!
Waktu Gereja Katedral yang baru ini belum berdiri, pohon baobab berada di tengah kompleks wisma keuskupan. Wisma Keuskupan letaknya persis di belakang Gereja Katedral lama, sekarang bernama Gedung Sillekens.
Dari Gereja lama, lewat pintu belakang sankristi ada jalan tembus ke Wisma, yang langsung ketemu dengan ruang tamu, dengan kursi-kursi kayu, dan ada pagar-pagar rendah. si Baobab ada di sekitar ruang tamu ini.
30an tahun yang lalu, setiap selesai tugas Putra Altar misa hari Raya di malam hari, kami putra Altar bersama pak Frans Mboi, pembina Putra Altar Katedral, sering menyeberang ke sini untuk numpang duduk menyantap makanan yang disediakan, bihun goreng, mie goreng, juga kwetiau goreng. Si Baobab seakan menemani kami beristirahat dan bercerita setelah tugas gereja yang melelahkan.
Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman sempat terpikir untuk merevitalisasi pohon Baobab ini. Sayangnya, bahkan sekadar menambahkan pupuk pun belum sempat terealisasi. Melihat kondisi pohon yang makin terabaikan, saya berharap suatu saat umat Katedral akan menyadari pentingnya menjaga warisan alam yang satu ini.
Semoga Si Baobab akan terus hidup hingga seribu tahun lagi, menjadi saksi bisu bagi generasi mendatang. Mungkin nanti, anak cucu juga akan duduk di bawahnya, bercerita tentang bagaimana moyangnya yang plontos ini bersama kawan-kawan sering duduk di tempat yang sama, menjadikannya bagian dari kenangan dan sejarah tak terlupakan dari Gereja Katedral Ketapang.
Semoga ….