Duduk di kursi depan Gua Katedral telah menjadi rutinitasku. Keheningan di sana memberikanku ruang untuk merenung. Ada kedamaian yang hadir saat memandang jauh area yang kosong, sepi, dan tanpa gangguan.
Namun, ketika muncul rencana pembangunan ‘rumah Luce’ oleh adik-adik OMK—sebagai bagian dari spot perziarahan Tahun Yubileum Keuskupan Ketapang—timbul penolakan dalam diri ini. Ada ketidakrelaan untuk berbagi ruang, untuk mengubah sedikit saja kenyamanan yang telah biasa kurasakan.
Seolah-olah ketenangan ini adalah sesuatu yang harus tetap seperti adanya.
Tapi kemudian, seperti yang selalu dikatakan para penikmat filosofi Stoa: yang bisa kita kendalikan hanyalah pikiran kita sendiri, selebihnya bukan dalam kendali kita. Aku mencoba untuk tidak memberikan reaksi.

Ketika rumah Luce akhirnya berdiri, justru kenyamanan yang lebih dalam kurasakan. Bukan karena gua ini tetap sama, tetapi karena hati belajar menerima perubahan.
Keheningan sejati ternyata bukan soal ruang dan tempat yang kosong, melainkan kesiapan hati untuk berdamai dengan segala sesuatu—termasuk dengan apa yang awalnya dianggap sebagai gangguan.
Kadang, Tuhan memberikan ketenangan bukan dengan menjauhkan gangguan, tetapi dengan mengajak kita berdamai dengannya.
-FD-