6 April 2025. Hari itu akhirnya tiba—hari ketika Gereja St. Stefanus Stasi Pesaguan diberkati dan diresmikan oleh Mgr. Pius Riana Prapdi. Sebuah tonggak sejarah, bukan hanya untuk umat di Pesaguan, tetapi juga untuk kami—anak-anak DG, komunitas kecil yang setiap hari nongkrong di warung kopi depan Gereja Katedral Ketapang.

Buat kami, ini bukan cuma soal bangunan yang berdiri megah. Ini tentang perjalanan. Tentang dinamika. Tentang kerja sama. Tentang peluh, waktu, bahkan darah yang tertumpah dalam diam. Dan seperti kata pepatah, ketika satu pintu terbuka, yang lain tertutup—maka berpindahlah fokus dan energi kami sepenuhnya ke Pesaguan.

DG, kurang beberapa personil tidak ikut foto

Selama tiga kali bulan Ramadhan, Bang Ake dan tim mengarahkan fokus ke sana. Setiap tantangan, setiap gesekan, setiap kebingungan, semuanya dibayar lunas di hari peresmian itu. Luar biasa rasanya melihat segala yang dirancang dan diperjuangkan berjalan sebagaimana mestinya.

Dan memang, kalau boleh jujur, di sepanjang proses ini—dari awal pembangunan sampai ke hari H—yang paling sering muncul mukanya ya… anak-anak DG. Kami yang katanya “banyak omong” ini, masing-masing ambil peran. Ada yang bantu desain dan pembangunan (dalam dan luar gereja) secara profesional kerja, ada yang urus izin gedung, hingga yang ngurus parkir di hari H, semua dengan caranya sendiri. Tapi semuanya dilakukan dalam semangat sukacita dan kerelaan.

Satu nama yang gak bisa tidak disebut: Bang Leo Nikolas (Ake). Dia ini komandan lapangan. Dedikasinya luar biasa. Dari ngurus perijinan awal bangun gereja, nyari kayu belian terbaik—yang sudah sangat langka di Ketapang kota—hingga memastikan altar dan rumah tabernakel dibuat bukan hanya layak, tapi pantas bagi rumah Tuhan. 

Tidak banyak yang tahu, tapi dalam proses, darah beberapa kawan benar-benar tercurah. Dalam arti yang sebenarnya.

Banyak kejadian yang menurut logika manusia mungkin cuma kebetulan. Tapi buat kami, tidak ada yang kebetulan kalau tidak dikehendaki oleh-Nya. Entah kenapa, hal-hal yang kami butuhkan selalu saja ada jalannya. Selalu muncul solusinya. Tanpa skenario, tanpa paksaan. Mengalir.

Dan anak-anak DG? Ya, kami tetap kami. Banyak ngomong, tapi gak sembarang ngomong. Gila, tapi gila yang intelek dan elegan. Kami belajar untuk tetap berpikiran positif, bahkan saat ada satu dua orang yang selalu memandang kami negatif. Karena pada akhirnya, ini bukan tentang kami. Ini tentang kemuliaan-Nya.

Pesaguan kini punya rumah ibadah yang layak. Tapi yang lebih penting, kami—anak-anak DG—punya kenangan yang akan terus hidup. Bukan soal siapa paling berjasa, tapi siapa yang benar-benar mau melayani. Dalam diam, dalam gaduh, dalam tawa, dan kadang dalam luka.

Dan untuk itu semua, kami bersyukur.

-Frans Doni-