Paskah adalah perayaan sukacita untuk semua. Di balik gegap gempita Triduum Paskah—Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah —terselip kegalauan yang tak pernah benar-benar bisa diungkapkan dengan tuntas. Bagi tim Komsos, Triduum bukan hanya soal dokumentasi, broadcasting, dan live streaming. Di situ ada perjuangan fisik, adu stamina, bahkan kadang juga emosi.
Pelayanan di Gereja adalah pilihan. Bukan paksaan. Apalagi di hari raya. Tapi pilihan ini seringkali datang dengan konsekuensi yang diam-diam menggerus waktu keluarga. Misa bersama keluarga? Duduk sebaris, pulang bareng? Rasanya mewah sekali.
Istri dan anak-anak mengerti. Tapi tetap saja, hati ini tak selalu kuat.

Keruwetan menjelang Triduum luar biasa. Perangkat yang selalu harus di setting ulang, kabel yang bermasalah di saat genting, atau sinyal yang hilang di momen paling sakral. Tapi hingga malam ini, semua tupoksi terlaksana. Liturgi berjalan, siaran lancar, dokumentasi aman. Tapi di rumah—ada cerita lain.
Si Bungsu – Anak umur tujuh tahun, yang semestinya bisa memeluk hangat ayahnya malam ini, justru hampir menangis. Katanya, saat misa Vigili yang panjang, ia dengan abangnya sempat gelisah. Mungkin tak bisa diam. Mungkin hanya berdiri atau celingak-celinguk, lantas meniru Uskup memberikan berkat penutup.
Lalu seorang Bapak di belakangnya—melotot, mungkin karena merasa terganggu. Anak kecil itu sedih. Merasa salah. Merasa sangat takut.
“Mata Bapak itu seperti mau keluar waktu melotot itu, Pa”, lapor abangnya.
Dan aku, ayahnya, bahkan tak ada di sana untuk membela atau sekadar memeluknya.
Begitulah… Paskah kadang datang dengan sejumput luka kecil. Luka karena memilih tanggung jawab dengan selalu hadir paling awal di Gereja karena tanggung jawab, tapi kehilangan momen pulang bersama keluarga di malam Paskah.
Tapi semoga, suatu hari nanti, anak-anak akan semakin mengerti. Bahwa semua ini, ayahnya hanya berusaha membantu ‘menghadirkan’ Tuhan bagi banyak orang, meski harus kehilangan momen kehadiran untuk mereka.
Selamat Paskah …..
-FD-