Tertera 23:35 PM, sewaktu kulihat jam di blackberry karena terbangun tiba-tiba dengan perasaan dongkol dan emosi yang meledak-ledak. 1,5 jam sebelumnya, saya sudah dengan manisnya merenggangkan tulang belakang di kasur, menunggu mata terkatup sembari mendengarkan live streaming Rakosa 105.3 fm Jogja yang memutar tembang-tembang slow.
Anak-anak “setan” itu memaksaku untuk beranjak dari kasur, keluar dari kamar, dan turun ke lantai bawah. Di luar rumah, sekumpulan ABG (Anak Baru Gede) labil lagi gila-gilaan memacu gas motornya yang terpasang knalpot racing menyusuri kawasan letter T jalan Ayani-Merdeka.
Fenomena yang sebenarnya sudah lama terjadi di Ketapang, terutama di kawasan “Pasar Lama” (sebutan untuk kawasan pertokoan di Jalan Merdeka – A.yani), pengguna jalan harus ektra hati-hati ketika melintas di kawasan ini. Sekumpulan ABABIL (ABG LABIL) dengan seenaknya memacu motornya di sore hari ataupun malam hari sewaktu toko-toko mulai bertutupan.
Tidak banyak yang bisa kulakukan selain meminta (dengan baik-baik) mereka yang markir motor di depan rumah untuk segera beranjak dari tempat, pindah ke tempat lain.
Berkaca  dari beberapa kejadian terdahulu, terhitung sudah 2x pintu rumahku dihujani batu oleh “mereka” oleh karena emosiku yang meledak. Ada satu waktu, 2 tahun yang lalu, di tengah malam  dengan kejadian seperti malam tadi, saya keluar rumah dengan membawa gagang cangkul, berdiri di tengah jalan (bak pahlawan siap mati membela negara). Maksudnya untuk menghardik mereka untuk menghentikan “trek-trekan” tidak jelas itu. Belum sampai tempatku berdiri, dari kejauhan di tikungan dari arah jalan Merdeka ke A.yani, mereka segera memutar rute menghindari diriku, dan membubarkan diri. Tidak seperti perkiraan, beberapa saat kemudian hujan batu sudah menghantam pintuku, batu-batu berserakan di depan rumah. Apa daya! seperti kata orang Ketapang,  “Kesal tak belawan”.
Hari berikutnya, dengan bantuan dari seorang teman jurnalis, issue ini berhasil di - blow up di Harian Tribun Pontianak. Entah karena berita terbitan di koran ini, atau memang sudah menjadi program kerja Satlantas Ketapang, akhir pekan berikutnya  di malam hari Satlantas Ketapang melakukan razia besar-besaran di pertigaan Tugu Tolak Bala, banyak ABG yang terjaring di operasi ini. Terima kasih, Pak!
Tidur di malam hari kembali bisa  nyenyak, warga sekitar pun senang. Tidak ada lagi trek-trekan liar yang mengganggu ketentraman  dengan suara-knalpot-berisik-cetar-membahana-nya.
Namun, ketentraman ini nyatanya tidak berlangsung lama. Razia yang kerap dilaksanakan Satlantas Ketapang ternyata tidak selalu memberikan efek jera bagi para ababil ini. Bak jamur yang tumbuh di musim penghujan, ababil semakin ramai memenuhi ruas jalan A.yani – Merdeka. Kucing-kucingan dengan Polantas seakan-akan menjadi trend dan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Ketika Polantas datang, mereka segera membubarkan diri. Ketika Polantas pergi, mereka beraksi kembali. Terus-menerus seperti itu.
Kisah di lain waktu, kalau sebelumnya saya keluar membawa gagang cangkul, kali ini keluarnya membawa seember air. Dengan kondisi dan situasi yang  persis dengan sebelumnya, seember air ini maksudnya juga untuk menghardik ababil. Tidak untuk disiramkan langsung ke mereka, hanya ditaruh di tepi jalan persis di depan rumahku. Mereka yang sudah mengetahui aksiku, dengan serta merta menghentikan sepeda motornya secara mendadak dengan jarak kurang lebih 20m dari tempatku berdiri.
Bayangkan seperti di film mafia Hongkong, ada 2 kelompok mafia yang akan berkelahi. Mereka puluhan ababil berserta sepeda motornya berjarak 20m dari tempatku berdiri sendiri. Melihat situasi yang dari jauh mungkin kelihatan kurang kondusif, tetangga-tetanggaku 6-7 orang  pun juga berkejaran menghampiriku. “Tenang jak, kalau biak-biak berani nyerang,  kita hadapi bersama” kata bosnya Rm. 888 yang rumah nya  berjarak beberapa rumah dari rumahku. Singkat cerita, memang tidak terjadi apa-apa malam itu, ababil membubarkan diri dengan sendirinya. Tapi, lagi-lagi pintu rumahku menjadi sasaran hujan batu. Sigh!!
Seiring waktu, trek-trekan liar ini timbul tenggelam. Satlantas kerap melakukan razia dan pengusiran, tidak sedikit yang terjaring, tidak sedikit juga yang jera. Terbukti, dari tahun ke tahun, ababil-nya sudah banyak yang beregenerasi.
Sampai pada kejadian beberapa minggu yang lalu, membuat saya berpikir jika situasi dan kondisi “pasar lama” yang kesannya terbiarkan seperti ini  tanpa ada solusi yang komprehensif, akankah menjadi  trigger bagi kemunculan isu sosial yang lain?
Jam sudah menunjukkan 00:30 AM, saya masih lembur di depan komputer. Kebetulan ponakanku lagi liburan keluar kota, jadi trek-trekan kali ini tidak terlalu menggangguku. Rumahku, persis di belokan letter U. Persis di depan rumahku, ababil biasanya start macu sepeda motornya, dengan aksi standing dan gas-pol-habis-habisan.  Tetangga sebelah rumah, yang terpancing emosinya. Bayangkan kalau anda yang  menjadi penghuni rumah di lingkungan ini. Ruko (Rumah  Toko) dengan posisi kamar ada di lantai atas  bagian depan, hanya berjarak beberapa meter dari jalan raya. Ada anak  yang masih kecil, selalu terjaga tiba-tiba, kemudian tangis-tangisan di tengah malam gara-gara terganggu aksi-anak-bawah-umur-kurang-perhatian-orang-tua ini .  Apa rasanya?  Kalau saya belum punya anak saja sudah bisa emosi gila-gilaan, apalagi kalau sudah punya anak, dan anakku terganggu?
Singkat cerita lagi, tetanggaku yang turun ke jalan dengan emosi, berharap ababil tetap melanjutkan aksi, dan dia bisa melampiaskan emosi. Saya juga turun, sekedar untuk memberikan dukungan :D. 30 menit berlalu, kami berdua bertahan di jalan tanpa terjadi apa-apa. Jalanan kembali sunyi, ababil menjauh dan kembali ke pangkalannya di jalan Merdeka. Kami kembali keperaduan masing-masing, selang 10-20 menit kemudian segerombolan sepeda motor dengan knalpot racing berhenti di depan rumah kami. Gas sepeda motor dimainkan seenaknya, sembari berteriak riuh “Woi CINE GILE! Woi CINE GILE!” terus-terusan. Mungkin berharap kami keluar untuk menghadapi mereka. SIGH!!!
Seketika, darah saya menuju ubun-ubun mendengar panggilan “Cine Gile”-nya. (cerita tentang kenapa saya sensi kalau dipanggil Cine, tunggu tulisan berikutnya).
Daripada terjadi kegaduhan di tengah malam, saya urungkan niat untuk buka pintu rumah, dan biarkan mereka berhenti dengan sendirinya. Untungnya, tetanggaku juga tidak bergeming sehingga situasi aman terkendali, tidak terjadi sesuatu yang berarti. Dalam waktu beberapa menit ke depan, mereka sudah membubarkan diri dengan sendirinya.
Bermula dari trek-trekan liar ABG yang masih mencari jati diri, dengan keterbatasan berpikir secara logis, sampai pada yel-yel rasisnya yang sangat mengganggu, bukankah bisa menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal antara ABG dengan pemuda setempat jika saja dari kedua belah pihak tidak ada yang mengalah. Kesabaran itu ada batasnya, mungkin bisa saja pemuda-pemuda seputaran A.yani – Merdeka juga ikut turun ke jalan setiap ada trek-trekan, kemudian menghakimi ABG dengan hukum rimba? Tapi itu bukanlah solusi yang tepat, tetangga-tetanggaku masih cukup rasional dalam berpikir ketimbang terpancing dalam kubangan emosi yang pada akhirnya hanya menambah runyam situasi. Pada akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah berharap banyak pada peran serta aparat kepolisian untuk membantu menanganinya.
Saya malah berpikir, semestinya masyarakat yang menjadi korban juga ikut andil memberikan solusi, tidak hanya tinggal diam, tidak hanya menelepon aparat ketika trek-trekan terjadi.
Beberapa ide saya, salah satunya mengacu pada judul postingan ini “AWAS! NGEBUT BENJUT”. Yang pernah tinggal di jogja mestinya  sering membaca tulisan ini ketika melewati jalan-jalan kecil. Tulisan sederhana, tapi cukup efektif untuk menangkal kebut-kebutan di jalan kampung. Artinya kurang lebih jika diterjemahkan “AWAS! NGEBUT  BAKAL BABAK BELUR”. Bisa saja, dibikinkan spanduk besar melintang di jalan, berisi tulisan ini. XD
Atau, di sepanjang jalan A.Yani – Merdeka dibikinkan gundukan kecil-kecil dengan jarak 2-3m /gundukan seperti di jalan Mangkubumi – Malioboro Jogja. Nyatanya cukup efektif untuk menangkal kebut-kebutan juga.
Atau, yang lebih nyentrik lagi saya bisa mengumpulkan beberapa teman photographer yang siap dengan telenya untuk meng-capture jelas muka-muka ABG beserta nomor plat motornya selagi trek-trekan, dan diserahkan ke aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti.
Solusi-solusi komprehensif harus bisa ditemukan, win-win solution bagi masyarakat yang menjadi korban gangguan, bagi pengguna jalan, bagi ABG sendiri, juga bagi orangtuanya yang mungkin tidak mengetahui tindak tanduk anaknya di jalan raya.
*gambar awas ngebut benjut diambil dari http://chachaajah.blogspot.com/2008_08_13_archive.html