Dalam liturgi Gereja Katolik, penggunaan crotalus—instrumen kayu pengganti lonceng—sering terdengar pada momen-momen tertentu dalam Pekan Suci. Namun, menarik untuk dicatat bahwa tidak ada aturan resmi dari Gereja yang mengatur penggunaan alat ini. Dalam Buku Pedoman Umum Misale Romanum misalnya, crotalus tidak pernah disebutkan sama sekali. Penggunaannya muncul semata-mata sebagai tradisi yang berkembang seiring waktu, terutama di kalangan para rahib Benediktin. Hal ini dijelaskan oleh RD. Laurensius Sutadi di dalam grup WA DPP Katedral St. Gemma Galgani.

Awal Mula Tradisi Penggunaan Crotalus

Menurut RD. Laurensius Sutadi, tradisi penggunaan crotalus dimulai oleh para rahib dan petapa Benediktin (Ordo Sancti Benedicti – OSB). Alat ini digunakan setelah lagu Kemuliaan dalam perayaan Kamis Putih hingga sebelum lagu Kemuliaan pada Misa Malam Paskah.

Lagu Kemuliaan pada Kamis Putih yang dibawakan dengan suasana gembira biasanya ditandai dengan bunyi lonceng logam. Namun, setelah itu suasana berubah drastis menjadi sedih dan muram karena mengenang peristiwa Yesus yang ditangkap, disiksa, disalibkan, hingga wafat dan dimakamkan. Dalam suasana duka ini, lonceng logam ditiadakan dan crotalus digunakan sebagai penggantinya.

Begitu lagu Kemuliaan dikumandangkan kembali dalam Misa Malam Paskah, lonceng logam pun digunakan lagi sebagai simbol kebangkitan Kristus dan sukacita Paskah.

Tradisi yang Berkembang di Gereja

Seiring waktu, tradisi yang dimulai oleh para rahib Benediktin ini masuk ke dalam kebiasaan liturgi Gereja yang lebih luas. Penggunaan crotalus bukan hanya terbatas pada komunitas para rahib, tetapi diterapkan juga dalam perarakan Sakramen Mahakudus pada akhir Misa Kamis Putih, serta saat doa Angelus pada Jumat Agung dan Sabtu Suci.

Lebih jauh lagi, tradisi ini bahkan melebar penerapannya di beberapa gereja. Crotalus kadang digunakan sepanjang masa Prapaskah sebagai pengganti lonceng logam untuk menekankan suasana tobat dan penyesalan. Bahkan, dalam beberapa gereja, alat ini juga dipakai selama masa Adven.

Makna Suara Crotalus

Dalam penjelasan RD. Laurensius Sutadi, bunyi crotalus yang bernada “kayu” membawa kesan sedih dan sunyi, selaras dengan suasana liturgi yang mengenang penderitaan dan wafat Kristus. Berbeda dengan lonceng logam yang nyaring dan meriah, suara crotalus seakan menjadi pengingat akan suasana duka dan permenungan mendalam yang menjadi ciri khas masa sengsara Kristus.

Penggunaan crotalus dalam liturgi Gereja Katolik adalah sebuah tradisi, bukan kewajiban liturgis yang diatur dalam rubrik resmi Gereja. Meski demikian, tradisi ini memiliki kekayaan makna simbolis yang kuat, terutama dalam membangkitkan suasana sedih dan penyesalan selama perayaan Pekan Suci. Melalui suara crotalus, umat diingatkan untuk merenungkan penderitaan Kristus hingga akhirnya menyambut sukacita kebangkitan-Nya pada Paskah.

Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa meskipun crotalus bukan bagian dari aturan liturgis resmi, tradisi ini tetap memiliki nilai spiritual yang mendalam. Sebagaimana disampaikan oleh RD. Laurensius Sutadi, tradisi ini lahir dari kebiasaan para rahib Benediktin dan terus berkembang dalam kehidupan Gereja hingga saat ini.