Di tengah hiruk-pikuk Kota Ketapang, berdiri menara tua yang menyimpan kisah dan sejarah panjang bagi umat Katolik Paroki Katedral. Menara ini adalah bagian dari Katedral Lama yang diresmikan pada tahun 1961/1962, lengkap dengan jam besar dan loncengnya yang ikonik.
Tak dapat disangkal, di masa kejayaannya, suara lonceng ini menjadi penanda waktu yang tak tergantikan. Bunyi lonceng besar yang terdengar di seputaran kota Ketapang bukan hanya sekadar penunjuk waktu, tetapi juga bagian dari ritme kehidupan masyarakat sekitar. Selain dentangan jam reguler, ada pula lonceng Angelus dengan alunan musiknya yang khas, mengingatkan umat untuk sejenak berhenti dan berdoa.
Saya masih ingat betul dentingnya dari masa kecil. Suara lonceng itu seperti melintasi waktu, menjadi kenangan yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Ada kerinduan sekaligus kekaguman saat mengingat bagaimana alat mekanis tua itu bekerja begitu luar biasa.
Kenangan tentang jam legendaris ini juga tidak lepas dari sosok almarhum Pak Multiyanto, umat Katedral yang dikenal sebagai ahli jam. Beliau dengan penuh dedikasi merawat jam besar itu selama hidupnya. Di tangan beliau, jam ini terus berdetak, melawan usia dan tantangan zaman. Namun, setelah kepergian beliau, kondisi jam mulai memudar.
Saya sempat mengambil foto mesin jam itu pada tahun 2012. Sayangnya, keadaannya saat itu sudah sangat mengenaskan. Mesin yang dulu megah dan andal, kini hanya menjadi saksi bisu akan masa lalu yang gemilang.
Harapan saya, suatu hari nanti, jam dan lonceng bersejarah ini dapat difungsikan kembali. Generasi muda Katedral Ketapang perlu mengenal dan menghargai warisan ini, bukan sekadar sebagai artefak, tetapi sebagai pengingat akan perjalanan iman dan semangat para pendahulu mereka.
-Frans Doni-