Gagasan “Paspor Porta Sancta” yang digulirkan di Tahun Yubileum 2025 sejatinya adalah inisiatif indah yang bertujuan memperdalam iman umat Katolik.
Dengan melewati Pintu Suci di gereja-gereja yang ditentukan dan mencatatnya dalam sebuah paspor rohani, umat diundang untuk berziarah secara lahir dan batin, merefleksikan pertobatan, dan mengalami belas kasih Allah.
Namun, niat mulia ini nampaknya terdistorsi oleh semangat yang keliru. Alih-alih menjadi sarana pertumbuhan rohani, paspor ini mulai dijadikan ajang pamer spiritualitas. Media sosial ramai dengan unggahan foto paspor penuh stempel, caption ziarah, dan perjalanan dari lintas keuskupan hingga lintas negara. Iman seakan direduksi menjadi koleksi stempel, bukan pengalaman batin yang mendalam.
Lebih menyedihkan, ketika umat mulai saling membandingkan: siapa yang sudah berapa kali menyeberangi porta sancta, siapa yang ke mana saja, siapa yang paling duluan penuh. Maka, yang tadinya dirancang sebagai bentuk kesalehan pribadi berubah menjadi perlombaan rohani yang penuh gengsi.
Apakah dosa bila umat senang berbagi pengalaman ziarahnya? Tentu tidak. Tetapi ketika intensinya bergeser dari kesaksian iman menjadi pencitraan pribadi, kita perlu mawas diri. Tuhan tidak mencatat jumlah stempel di paspor, melainkan ketulusan hati yang bertobat.
Umat perlu diajak kembali pada semangat Tahun Yubileum itu sendiri: tahun pembebasan, pertobatan, dan belas kasih. Biarlah pintu yang dibuka bukan sekadar pintu basilika, tetapi pintu hati yang mau disucikan.
*Disclaimer : sekedar opini pribadi*
-FD-