Pagi ini, seperti biasa, aku mengikuti misa harian di Gereja Katedral St. Gemma Galgani Ketapang pada pukul 05.15 WIB. Ini adalah kebiasaan yang sudah kutekuni selama delapan tahun terakhir, yaa walaupun seringkali bolong juga —sebuah rutinitas yang kupilih bukan hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai umat Katolik, tetapi sebagai upaya untuk mencintai Ekaristi dengan lebih mendalam.

Sejak dibaptis 30 tahun yang lalu, mungkin sudah lebih dari 4000 kali aku menghadiri perayaan Ekaristi di berbagai kesempatan. Namun, pagi ini terasa begitu istimewa, sebuah momen yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Ketika tiba saatnya menerima Komuni, Pastor yang memimpin misa, Pastor Pamungkas, menyapaku dengan cara yang sangat berbeda.

Tubuh Kristus, Doni…,” ucapnya lembut saat hosti diberikan kepadaku.

Sapaan itu terdengar sederhana. Namun, bagiku, sangat menyentuh. Pastor Pamungkas, seorang imam Projo yang baru saja bertugas di Katedral sejak 1 September lalu, telah menghadirkan  sesuatu yang  kecil namun bermakna besar. Biasanya pastor atau prodiakon hanya mengatakan “Tubuh Kristus” tanpa tambahan nama. Mendengar namaku disebut saat menerima Tubuh Kristus, rasanya seperti sebuah pengakuan bahwa Tuhan benar-benar hadir untukku secara pribadi.

Selama ini, pemahamanku tentang mencintai Ekaristi adalah tentang hadir di gereja di pagi hari, rutinitas sederhana yang kadang terasa monoton. Namun, lewat momen kecil ini, aku disadarkan kembali bahwa Tuhan juga menyapa secara personal, di tengah rutinitas kita yang terasa monoton itu.

Mungkin bagi sebagian orang, sapaan nama ini bukanlah hal yang signifikan. Tetapi bagiku, ini adalah tanda bahwa Tuhan mengenalku. Dia tahu siapa aku, Dia melihat kehadiranku di pagi hari, dan lewat sapaan kecil itu, aku merasakan bahwa Ekaristi bukan hanya sebuah ritus, tetapi sebuah pertemuan yang hidup antara Tuhan dan umat-Nya. Aku pulang dari misa pagi ini dengan perasaan damai yang sulit dijelaskan.

Selamat bertugas di Katedral, Pastor Pamungkas. Semoga betah, dan semoga bisa memberikan sesuatu yang berbeda untuk perkembangan umat beriman di Katedral, juga untuk perjalanan pastoral Pastor sendiri. Saya percaya, sentuhan-sentuhan kecil yang Pastor berikan, seperti pagi ini, akan menjadi benih-benih iman yang berbuah manis di hati banyak umat.

Semoga perjumpaan-perjumpaan sederhana ini semakin menumbuhkan rasa cinta kita pada Ekaristi, di mana Tuhan hadir, menyapa, dan mencintai kita secara personal. -FD-