Hari ini, tanggal 15 bulan 7 berdasarkan penanggalan Tionghoa adalah bertepatan dengan  hari di mana Festival Hantu Lapar dirayakan, sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa.

Bulan  7 dalam penanggalan Tionghoa lebih dikenal dengan istilah Bulan hantu. Ada sebuah kepercayaan di mana dalam kurun waktu 1 bulan ini, hantu-hantu yang mendiami alam baka sana  bebas berjalan-jalan bertamasya ke alam manusia karena Pintu Gerbang  Neraka dibuka bebas dalam bulan ini.  Selama bulan 7 , warga Tionghoa juga jarang sekali  mengadakan pesta-pesta seperti perkawinan ataupun pindah rumah karena dipercaya peristiwa-peristiwa baik dan menggembirakan yang dilaksanakan di bulan “hantu”  akan mendatangkan kesialan.

Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris di zaman dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Namun pengaruh religius terutama dari Buddhisme menjadikan tradisi perayaan ini sarat dengan mitologi tentang hantu-hantu kelaparan yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia  – wikipedia –

Puncaknya adalah di tanggal 15.  Di beberapa negara lain, Festival Hantu Lapar sering dirayakan besar-besaran dan menjadi bagian dari “menu” pariwisata yang layak untuk dicicipi wisatawan.

Jika di kota-kota lain, di bulan yang sama ini mungkin masih bisa dijumpai perayaan umat KongHuCu  di kelenteng yang namanya “Sembahyang Rebutan“. Kalau yang pernah tinggal di Jogja mestinya pernah dengar istilah Grebeg Maulud, nah Sembahyang Rebutanini ya mirip-mirip 11-12 lah.  Jadi warga Tionghoa, akan membawa persembahan-persembahan ke kelenteng yang dikumpulkan jadi satu, disusun “mbukit” dan setelah prosesi doa, persembahan-persembahan itu akan direbut oleh umat yang hadir, dan dipercaya makanan itu akan membawa berkah bagi yang mengkonsumsinya.

Lalu bagaimana dengan di Ketapang, Kalimantan Barat ? Sebagai daerah dengan populasi warga TioCiu yang cukup besar di Indonesia, perayaan seperti ini malah  belum pernah ada. Alih-alih menjadi festival,  yang ada malah kesan mistis yang kental 🙂

Sejak kecil, istilah Chit Gwee Pua mestinya sudah terbiasa didengar oleh anak-anak Tionghoa Ketapang . Chit Gwee Pua ( bahasa Tio Ciu) artinya pertengahan bulan tujuh. Di hari ini, orang tua selalu memberlakukan beberapa larangan untuk anak-anak seperti misalnya mandi dan makan tidak boleh lewat dari jam 6 malam, juga tidak boleh berkeliaran  sampai jauh malam. Ya tentu saja dengan alasan nanti makanannya akan dimakan hantu-hantu kelaparan dan sebagainya 😀

Kemudian yang menjadi kebiasaan warga Tionghoa sini juga adalah adanya “persembahan” untuk hantu-hantu itu. Dari jam 6 sore, di depan rumah warga Tionghoa KongHucu biasanya sudah tampak beberapa sesajian, termasuk lilin, hio dan uang kertas.  Pemandangan yang semakin menambah kentalnya nuansa mistis di jalanan 😀

Akong & Ama juga dulu sering bercerita perihal Chit Gwee Pua ini. Konon, di Tiongkok dulu ada kisah tentang bagaimana melihat Hantu-hantu yang kelaparan ini di hari Chit Gwee Pua. Tidak banyak yang perlu disiapkan, selain menyiapkan penampi beras dan keberanian.  Jadi, Anda harus memiliki penampi beras yang terbuat dari anyaman bambu / rotan (bukan yg plastik). Taruhlah penampi itu di atas kepala dan jongkoklah di bawah jembatan, dan saksikanlah Hantu-hantu itu lewat di depan anda. Konon katanya,  harus dilihat sampai hilang semua, kalau tidak Anda akan dikejar mereka.

Boleh percaya boleh tidak, kalau Anda tertarik silahkan praktekkan malam ini. Nanti kabari saya hasilnya seperti apa. Kalau saya sih lebih memilih motret bulan purnama aja malam ini siapa tahu kelihatan Bidadari lagi nari di bulan . ^_^

Selamat ber – Chit Gwee Pua ! 🙂

**gambar diambil dari
http://www.yoursingapore.com/content/dam/yoursingapore/event/en/372_hungrygf_505x337_3_2.jpg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *