Matahari sudah lumayan tinggi ketika kami melewati Jembatan Pawan 1 Kabupaten Ketapang. Tampak di sisi selatan, langit-langit hitam pertanda hujan yang akan segera datang seakan-akan mau menyapa “Hey kalian, selamat bertempur ya..”
Hari itu, Sabtu pagi 11 Maret 2017 kami beberapa personil dari Komunitas Keutuhan Ciptaan Borneo, melakukan perjalanan menuju Paroki Sukaria, Keuskupan Ketapang dalam rangka Aksi Puasa (Paskah) Pembangunan dari Komunitas Keutuhan Ciptaan Borneo.
APP tidak hanya berarti AKSI PUASA PEMBANGUNAN tetapi seharusnya juga berarti AKSI PASKAH PEMBANGUNAN.
Menurut pengalaman Gereja di Indonesia, APP sebagai aksi puasa pembangunan merupakan suatu gerakan yang melibatkan seluruh umat Katolik selama masa Prapaskah untuk mewujudkan secara nyata puasa, pantang, derma dalam berbagai bentuk kegiatan yang membangun masyarakat, yang secara nyata membawa dampak untuk kesejahteraan banyak orang. – katolisitas.org
Paroki Sukaria – Kendawangan, kurang lebih 85km dari Kota Ketapang, adalah paroki “bungsu” di Keuskupan Ketapang. Di bawah komando RD. Budi Nugroho sebagai Pastor Paroki, terdapat kurang lebih 700 KK (kepala keluarga) yang tersebar di beberapa Stasi yang jarak tempuh dan kondisi jalanan yang lumayan dari Pusat Paroki.
Terdapat juga 2 orang suster dari Kongregasi A.C.I ( Servant of the Most Sacred Heart of Jesus), yakni Suster Anna dari Portugal, dan Suster Vinki dari Vietnam yang tanggal 1 Maret kemarin tepat 1 tahun berkarya di sana.
Secara geografis Sukaria dikelilingi oleh kebun sawit dan pertambangan. Ketersediaan lahan pertanian untuk digarap secara pribadi jelas sudah sangat terbatas. Kecenderungan umat menjual lahannya kepada pihak perusahaan sudah terjadi berpuluh tahun lalu sejak awal perusahaan sawit ataupun tambang memulai eksploitasi di sana.
Jadi secara ekonomi, bisa dibayangkan seperti apa ketergantungan umat dengan perusahaan-perusahaan yang ada di sana. Buaian dan fasilitas dari perusahaan selama ini seakan-akan meninabobokan umat.
Lantas, apa yang terjadi di kondisi sekarang ketika perusahaan sudah selesai mengeksploitasi di sana? Umat menjadi tidak proaktif dan produktif.
….
Jam menunjukkan pkl. 11.30 ketika kami sampai di depan Pastoran Sukaria. Letaknya persis di sebelah Gereja Santo Ambrosius, gedung gereja yang sederhana, dan Pastoran hanyalah ruang tambahan di samping gereja yang tidak kalah sederhananya.
Romo Budi menyambut kehadiran kami dengan senyuman khasnya sembari mempersilahkan masuk dan singkat cerita, kopi racikan Sumarlin bos CampCoffee menemani kami ngobrol ringan sampai beberapa saat ke depan sebelum memulai aksi di biara Suster A.C.I.
Biara Suster A.C.I letaknya tidak jauh dari Pastoran, kira-kira 300 meter jaraknya.
Gedung yang indah, dengan halaman dan tanah kosong di sekelilingnya yang sangat luas namun gersang. Gedung ini sejatinya adalah gedung yang diperuntukkan menggantikan gereja lama, tapi karena sesuatu dan lain hal akhirnya disepakati tidak digunakan sebagai gedung gereja yang baru.
Tidak ada misi istimewa dan berlebihan yang kami bawa ke sini, sebatas mencoba untuk berbagi pengetahuan yang dimiliki komunitas, dan mencoba membantu memberikan sentuhan “hijau” yang lebih bermanfaat di sekitar Biara dan Pastoran.
….
Kehadiran kami yang langsung menuju belakang biara, disambut Suster Finky yang sedang sibuk di dapur dengan bahasa Indonesianya yang terbata-bata. Tampak di ruangan depan, Suster Anna seorang diri sedang adorasi sakramen Maha Kudus.
Sumarlin, Agung, dan Yusac dengan sigap membongkar dan menurunkan material dari atas mobil. Bekal yang terhitung banyak yang kami bawa, dari kotoran ayam sampai dengan bibit cabe dll yang siap dipindah ke polybag.
Misi kecil hari ini adalah membuatkan pupuk organik dan memperkenalkan pertanian dengan Metode Organik Rasio untuk diaplikasikan di sekitar Biara.
Sambil teman-teman mulai membuat pupuk di bagian belakang Biara, saya dan Wiji bertahan di dapur ngobrol-ngobrol ringan dengan kedua Suster yang luar biasa itu. Sesekali kulirik Suster Vinky yang begitu sigap mengerjakan urusan dapur mempersiapkan makan siang kami hari ini terlepas dari segala keterbatasan ketersediaan bahan makanan di sini. Sesekali Suster Anna bergerak ke belakang memantau teman-teman yang lagi sibuk mengaduk pupuk.
Banyak hal yang diungkapkan Suster Anna. Keprihatinan akan kondisi sosial anak dan ibu di Sukaria sepertinya menjadi prioritas misi mereka.
“Saya sedih, lihat banyak sekali anak-anak yang menikah di bawah umur ya, lalu sudah berkeluarga setiap hari tidak ada aktivitas, hanya santai-santai saja” ungkap Suster Anna dengan bahasa Indonesianya yang masih terbata-bata.
Matahari sudah sangat terik, jam menunjukkan 13.00. Suster Anna memanggil kami untuk bersantap siang bersama, dan selanjutnya aktivitas sehari di Sukaria tergenapi hingga sore dan kami beranjak pulang kembali ke kota………..