Bak …
Sehelai daun di tengah belantara …
Setitik air di samudra luas …
Sebutir pasir di tepian pantai …
Aku dengan egoku,
bukan siapa-siapa dan tidak berarti apa-apa
-FD-
Bak …
Sehelai daun di tengah belantara …
Setitik air di samudra luas …
Sebutir pasir di tepian pantai …
Aku dengan egoku,
bukan siapa-siapa dan tidak berarti apa-apa
-FD-
Dari semalam sudah semangat karena pagi ini akan ke sekolah menerima hadiah juara 1 lomba menyanyikan lagu Dari Sabang sampai Merauke dalam rangka hari Sumpah Pemuda.
Disuruh tidur awal, langsung tidur trus jam 8 sudah harus bangun beres-beres, eh jam 7.30 udh bangun trus bilang “Pa, Atan masih ingat hari ini harus bangun awal”.
Cerita persiapan untuk ikut lomba ini juga agak menggelikan, antara mau tidak mau dianya ikut lomba, sering tidak pede, takut tidak menang dan lain sebagainya. Jadi latihan intensifnya pas mau tidur sambil baring, betulkan nada-nada yg fals, Selebihnya nyanyi-nyanyi sendiri teriak berdua adeknya.
Sampai pada hari minggu, waktunya untuk take video (karena umak bapaknya sempat hanya di hari minggu untuk take video-video yang butuh pengarahan khusus wkwkwk). Atan bilang, “Pa, kemarin Atan liat di tiktok, ada yang bahas tentang bulan sabit di kuku jempol. Katanya, kalau ada itu tandanya mau ada keberuntungan gitu”. Lantas kujawab “Ya tu, makanya percayalah nanti pasti menang bah. Yok rekaman sekarang.”
Alhasil, setelah ada pengumuman pemenangan lomba dari sekolah dan ternyata juara 1, dia cerita ke mamanya “Ma, ternyata yang dibahas di tiktok itu beneran”, dan Mamanya bingung entah apa yang dimaksud anaknya.
Satu point penting yang dapat kugarisbawahi dari peristiwa ini adalah “Pentingnya menyemangati anak-anak kita, entah seperti apa pun caranya”. Anak-anak seumuran gini sudah tahu tentang “tidak pede” karena berbagai macam alasan.
Dan kalau Atan, alasan tidak pede – nya baru kuketahui pagi ini setelah dia bilang “Pa, Atan heran koq teman Atan si B dak menang ya, padahal kan dia biasanya pasti menang kalau lomba, ini malah Atan yang menang”.
Ternyata, ini pembelajaran kedua orangtuanya yang sedari awal sering cerita tentang keberhasilan temannya yang selalu juara kalau ikut lomba, lalu didengarnya dan terus terpatri di pikirannya.
Selamat Nak …
-FD-
Matahari sudah lumayan tinggi ketika kami melewati Jembatan Pawan 1 Kabupaten Ketapang. Tampak di sisi selatan, langit-langit hitam pertanda hujan yang akan segera datang seakan-akan mau menyapa “Hey kalian, selamat bertempur ya..”
Hari itu, Sabtu pagi 11 Maret 2017 kami beberapa personil dari Komunitas Keutuhan Ciptaan Borneo, melakukan perjalanan menuju Paroki Sukaria, Keuskupan Ketapang dalam rangka Aksi Puasa (Paskah) Pembangunan dari Komunitas Keutuhan Ciptaan Borneo.
APP tidak hanya berarti AKSI PUASA PEMBANGUNAN tetapi seharusnya juga berarti AKSI PASKAH PEMBANGUNAN.
Menurut pengalaman Gereja di Indonesia, APP sebagai aksi puasa pembangunan merupakan suatu gerakan yang melibatkan seluruh umat Katolik selama masa Prapaskah untuk mewujudkan secara nyata puasa, pantang, derma dalam berbagai bentuk kegiatan yang membangun masyarakat, yang secara nyata membawa dampak untuk kesejahteraan banyak orang. – katolisitas.org
Paroki Sukaria – Kendawangan, kurang lebih 85km dari Kota Ketapang, adalah paroki “bungsu” di Keuskupan Ketapang. Di bawah komando RD. Budi Nugroho sebagai Pastor Paroki, terdapat kurang lebih 700 KK (kepala keluarga) yang tersebar di beberapa Stasi yang jarak tempuh dan kondisi jalanan yang lumayan dari Pusat Paroki.
Terdapat juga 2 orang suster dari Kongregasi A.C.I ( Servant of the Most Sacred Heart of Jesus), yakni Suster Anna dari Portugal, dan Suster Vinki dari Vietnam yang tanggal 1 Maret kemarin tepat 1 tahun berkarya di sana.
Secara geografis Sukaria dikelilingi oleh kebun sawit dan pertambangan. Ketersediaan lahan pertanian untuk digarap secara pribadi jelas sudah sangat terbatas. Kecenderungan umat menjual lahannya kepada pihak perusahaan sudah terjadi berpuluh tahun lalu sejak awal perusahaan sawit ataupun tambang memulai eksploitasi di sana.
Jadi secara ekonomi, bisa dibayangkan seperti apa ketergantungan umat dengan perusahaan-perusahaan yang ada di sana. Buaian dan fasilitas dari perusahaan selama ini seakan-akan meninabobokan umat.
Lantas, apa yang terjadi di kondisi sekarang ketika perusahaan sudah selesai mengeksploitasi di sana? Umat menjadi tidak proaktif dan produktif.
….
Jam menunjukkan pkl. 11.30 ketika kami sampai di depan Pastoran Sukaria. Letaknya persis di sebelah Gereja Santo Ambrosius, gedung gereja yang sederhana, dan Pastoran hanyalah ruang tambahan di samping gereja yang tidak kalah sederhananya.
Romo Budi menyambut kehadiran kami dengan senyuman khasnya sembari mempersilahkan masuk dan singkat cerita, kopi racikan Sumarlin bos CampCoffee menemani kami ngobrol ringan sampai beberapa saat ke depan sebelum memulai aksi di biara Suster A.C.I.
Biara Suster A.C.I letaknya tidak jauh dari Pastoran, kira-kira 300 meter jaraknya.
Gedung yang indah, dengan halaman dan tanah kosong di sekelilingnya yang sangat luas namun gersang. Gedung ini sejatinya adalah gedung yang diperuntukkan menggantikan gereja lama, tapi karena sesuatu dan lain hal akhirnya disepakati tidak digunakan sebagai gedung gereja yang baru.
Tidak ada misi istimewa dan berlebihan yang kami bawa ke sini, sebatas mencoba untuk berbagi pengetahuan yang dimiliki komunitas, dan mencoba membantu memberikan sentuhan “hijau” yang lebih bermanfaat di sekitar Biara dan Pastoran.
….
Kehadiran kami yang langsung menuju belakang biara, disambut Suster Finky yang sedang sibuk di dapur dengan bahasa Indonesianya yang terbata-bata. Tampak di ruangan depan, Suster Anna seorang diri sedang adorasi sakramen Maha Kudus.
Sumarlin, Agung, dan Yusac dengan sigap membongkar dan menurunkan material dari atas mobil. Bekal yang terhitung banyak yang kami bawa, dari kotoran ayam sampai dengan bibit cabe dll yang siap dipindah ke polybag.
Misi kecil hari ini adalah membuatkan pupuk organik dan memperkenalkan pertanian dengan Metode Organik Rasio untuk diaplikasikan di sekitar Biara.
Sambil teman-teman mulai membuat pupuk di bagian belakang Biara, saya dan Wiji bertahan di dapur ngobrol-ngobrol ringan dengan kedua Suster yang luar biasa itu. Sesekali kulirik Suster Vinky yang begitu sigap mengerjakan urusan dapur mempersiapkan makan siang kami hari ini terlepas dari segala keterbatasan ketersediaan bahan makanan di sini. Sesekali Suster Anna bergerak ke belakang memantau teman-teman yang lagi sibuk mengaduk pupuk.
Banyak hal yang diungkapkan Suster Anna. Keprihatinan akan kondisi sosial anak dan ibu di Sukaria sepertinya menjadi prioritas misi mereka.
“Saya sedih, lihat banyak sekali anak-anak yang menikah di bawah umur ya, lalu sudah berkeluarga setiap hari tidak ada aktivitas, hanya santai-santai saja” ungkap Suster Anna dengan bahasa Indonesianya yang masih terbata-bata.
Matahari sudah sangat terik, jam menunjukkan 13.00. Suster Anna memanggil kami untuk bersantap siang bersama, dan selanjutnya aktivitas sehari di Sukaria tergenapi hingga sore dan kami beranjak pulang kembali ke kota………..
Menarik sekali yang disampaikan Cornelis, Presiden Majelis Adat Dayak Nasional tentang kepemilikan Kalimantan.
Borneo punya siapa sebenarnya ? Punyanya Frans Doni ? Oo.. tentu saja bukan 🙂
“Secara ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan, baik menurut antropologi budaya, maupun antropologi forensik, Kalimantan ini milik orang Dayak” papar Cornelis di sela-sela pelantikan dirinya sebagai Presiden Majelis Adat Dayak Nasional, Kamis 7/04/2016.
Jadi menurutmu, Borneo ini punya siapa sebenarnya ?
*foto diambil dari facebook Lukas B Wijanarko
Berinteraksi dengan burung, bukanlah hal baru bagiku. Sejak belia, aku sudah terbiasa mengagumi keindahan makhluk bersayap dan berbulu ciptaan Tuhan ini.
Almarhum Papaku adalah seorang pencinta burung berkicau. Ia memiliki usaha perdagangan pakan ternak termasuk pakan burung, sangkar burung, aksesoris, dan juga jual-beli burung berkicau.
Sebagai satu-satunya toko burung di Ketapang waktu itu, entah sudah berapa banyak burung dan sangkar yang di’import’ Papa dari tanah Jawa untuk memenuhi kebutuhan para pencinta burung berkicau di Ketapang.
Jelas dalam ingatan, masa kecilku begitu dekat dengan Si Choki Cacatua sulphurea yang setia menyapaku setiap pagi. Ada burung poksay Mandarin Garrulax chinensis, samho, wambiGarrulax canorus yang liarnya minta ampun, dan kenari Serinus canaria.
Tertera 23:35 PM, sewaktu kulihat jam di blackberry karena terbangun tiba-tiba dengan perasaan dongkol dan emosi yang meledak-ledak. 1,5 jam sebelumnya, saya sudah dengan manisnya merenggangkan tulang belakang di kasur, menunggu mata terkatup sembari mendengarkan live streaming Rakosa 105.3 fm Jogja yang memutar tembang-tembang slow.
Anak-anak “setan” itu memaksaku untuk beranjak dari kasur, keluar dari kamar, dan turun ke lantai bawah. Di luar rumah, sekumpulan ABG (Anak Baru Gede) labil lagi gila-gilaan memacu gas motornya yang terpasang knalpot racing menyusuri kawasan letter T jalan Ayani-Merdeka.
Fenomena yang sebenarnya sudah lama terjadi di Ketapang, terutama di kawasan “Pasar Lama” (sebutan untuk kawasan pertokoan di Jalan Merdeka – A.yani), pengguna jalan harus ektra hati-hati ketika melintas di kawasan ini. Sekumpulan ABABIL (ABG LABIL) dengan seenaknya memacu motornya di sore hari ataupun malam hari sewaktu toko-toko mulai bertutupan.
Tidak banyak yang bisa kulakukan selain meminta (dengan baik-baik) mereka yang markir motor di depan rumah untuk segera beranjak dari tempat, pindah ke tempat lain.
Hari ini, tanggal 15 bulan 7 berdasarkan penanggalan Tionghoa adalah bertepatan dengan  hari di mana Festival Hantu Lapar dirayakan, sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa.
Bulan  7 dalam penanggalan Tionghoa lebih dikenal dengan istilah Bulan hantu. Ada sebuah kepercayaan di mana dalam kurun waktu 1 bulan ini, hantu-hantu yang mendiami alam baka sana  bebas berjalan-jalan bertamasya ke alam manusia karena Pintu Gerbang  Neraka dibuka bebas dalam bulan ini.  Selama bulan 7 , warga Tionghoa juga jarang sekali  mengadakan pesta-pesta seperti perkawinan ataupun pindah rumah karena dipercaya peristiwa-peristiwa baik dan menggembirakan yang dilaksanakan di bulan “hantu”  akan mendatangkan kesialan.
Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris di zaman dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Namun pengaruh religius terutama dari Buddhisme menjadikan tradisi perayaan ini sarat dengan mitologi tentang hantu-hantu kelaparan yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia  – wikipedia –
Puncaknya adalah di tanggal 15. Â Di beberapa negara lain, Festival Hantu Lapar sering dirayakan besar-besaran dan menjadi bagian dari “menu” pariwisata yang layak untuk dicicipi wisatawan.
Jika di kota-kota lain, di bulan yang sama ini mungkin masih bisa dijumpai perayaan umat KongHuCu  di kelenteng yang namanya “Sembahyang Rebutan“. Kalau yang pernah tinggal di Jogja mestinya pernah dengar istilah Grebeg Maulud, nah Sembahyang Rebutanini ya mirip-mirip 11-12 lah.  Jadi warga Tionghoa, akan membawa persembahan-persembahan ke kelenteng yang dikumpulkan jadi satu, disusun “mbukit” dan setelah prosesi doa, persembahan-persembahan itu akan direbut oleh umat yang hadir, dan dipercaya makanan itu akan membawa berkah bagi yang mengkonsumsinya.
Lalu bagaimana dengan di Ketapang, Kalimantan Barat ? Sebagai daerah dengan populasi warga TioCiu yang cukup besar di Indonesia, perayaan seperti ini malah  belum pernah ada. Alih-alih menjadi festival,  yang ada malah kesan mistis yang kental 🙂
Sejak kecil, istilah Chit Gwee Pua mestinya sudah terbiasa didengar oleh anak-anak Tionghoa Ketapang . Chit Gwee Pua ( bahasa Tio Ciu) artinya pertengahan bulan tujuh. Di hari ini, orang tua selalu memberlakukan beberapa larangan untuk anak-anak seperti misalnya mandi dan makan tidak boleh lewat dari jam 6 malam, juga tidak boleh berkeliaran  sampai jauh malam. Ya tentu saja dengan alasan nanti makanannya akan dimakan hantu-hantu kelaparan dan sebagainya 😀
Kemudian yang menjadi kebiasaan warga Tionghoa sini juga adalah adanya “persembahan” untuk hantu-hantu itu. Dari jam 6 sore, di depan rumah warga Tionghoa KongHucu biasanya sudah tampak beberapa sesajian, termasuk lilin, hio dan uang kertas. Â Pemandangan yang semakin menambah kentalnya nuansa mistis di jalanan 😀
Akong & Ama juga dulu sering bercerita perihal Chit Gwee Pua ini. Konon, di Tiongkok dulu ada kisah tentang bagaimana melihat Hantu-hantu yang kelaparan ini di hari Chit Gwee Pua. Tidak banyak yang perlu disiapkan, selain menyiapkan penampi beras dan keberanian.  Jadi, Anda harus memiliki penampi beras yang terbuat dari anyaman bambu / rotan (bukan yg plastik). Taruhlah penampi itu di atas kepala dan jongkoklah di bawah jembatan, dan saksikanlah Hantu-hantu itu lewat di depan anda. Konon katanya,  harus dilihat sampai hilang semua, kalau tidak Anda akan dikejar mereka.
Boleh percaya boleh tidak, kalau Anda tertarik silahkan praktekkan malam ini. Nanti kabari saya hasilnya seperti apa. Kalau saya sih lebih memilih motret bulan purnama aja malam ini siapa tahu kelihatan Bidadari lagi nari di bulan . ^_^
Selamat ber – Chit Gwee Pua ! 🙂
**gambar diambil dari http://www.yoursingapore.com/content/dam/yoursingapore/event/en/372_hungrygf_505x337_3_2.jpgMas Berto, bukanlah seorang mas bernama Berto.Ia bukanlah seorang Jawa. Mas Berto, mengutip istilahnya Erik Raferna adalah kependekan dari Masyarakat Bertato. Mas Berto, kumpulan manusia : anda,saya, dia, ataupun mereka yang memiliki kepuasan ketika bagian-bagian tubuhnya ini dirajah.
Ya…rajah tubuh atau tattoo, bagi sebagian besar orang dengan gaya pikir yang konservatif, menganggap tatto atau seni “menggambari” tubuh ini adalah suatu aktivitas yang sangat dekat hubungannya dengan pelaku tindak kriminal. Manusia bertato, identik dengan preman terminal x_x. Pandangan orang-orang tidak akan lepas dari “tubuh” anda ketika menangkap sesuatu yg terpatri di kulit lengan, atau di leher, atau di manapun juga di bagian tubuh anda yang terlihat.
Bagi saya pribadi, tattoo adalah sebuah bentuk penegasan akan komitmen diri, juga penegasan akan pengambilan keputusan yang tepat untuk seumur hidup.
Pertama kali saya mengenal tattoo sewaktu kelas 2 SMA, kurang lebih 13 tahun yang lalu. Darah ABG yang mengalir, sejalan dengan jiwa muda yang menuntut kebebasan dalam berekspresi, mengantar saya pada sebuah pilihan untuk mentattoo lengan kiri dengan gambar “praying hand” dengan tulisan “matius 6:14” tentang pertobatan di bawahnya. Karena keterbatasan resource : gambar dan tattoo artist wktu itu, maka tattoo dibikin dalam segala keterbatasan. Antonius Indra wktu itu yang menjadi tattoo artistku,sekaligus perancang mesin tattoonya. Bermodalkan mesin dinamo mainan mobil tamiya-ku dan jarum jahit mama, jadilah sebuah mesin tattoo yang siap dipakai untuk merajah lengan ini. Maka jadilah “praying hand” yang menemaniku selama 13 tahun terakhiri ini.
Tattoo yang sangat sederhana,bahkan kalau dilihat orang, lebih banyak digunjing ketimbang dipuji qe2 :d Namun demikian, tidak mengurangi kepedean saya untuk berkaos singlet dalam keseharian. Tidak bermaksud untuk mempertontonkan tattoo tersebut sebenarnya,tapi lebih kepada kenyamanan berpakaian saja. Jadi, tidak heran lagi kan kenapa saya selalu berkaos singlet bahkan ketika harus beraktivitas di lingkungan gereja (lat koor dsb) saya terbiasa bersinglet ria 🙂 .
Nah, keberadaan tattoo selama 13 tahun ini, pada akhirnya harus diakhiri hari minggu yang lalu (01/05/2011). Bukan dibuang, tapi digantikan oleh  tattoo yang baru. Temanya masih sama, tetap “pertobatan” dan gambarnya “praying hand” juga, bedanya hanya pada bentuk gambarnya. Googling panjang banyak memberikan pilihan gambar, tapi akhirnya saya jatuh hati pada desain yg dijual di tattoojohnny.com. Kadung jatuh hati, lalu desainnya pun saya order.
Anes tattoo, abang dan kawan di komunitas Pedahasan Tikar Selembar yang menjadi tattoo artistku. Hujan deras yang mengguyur kota Ketapang sepanjang malam itu, menemeni kami bertattoo ria hingga jam 1 dini hari.
Hari ini, dalam kondisi luka tattoo yang belum mengering, saya berani memastikan kalau tattoo inilah yg akan menemani lengan kiriku sampai akhir nanti, sembari mencari ide gambar untuk dirajah di bagian tubuh yang lain. Salam Budaya!
Untuk yang kedua kalinya, aq tugas  Passio di Jumat Agung, setelah yang pertama itu Jumat Agung 2 tahun lalu. Emang dadakan sih, karena harus menggantikan petugas  yang udah ditunjuk sebelumnya.
FYI : Passio itu kisah tentang sengsara Yesus Kristus dari penangkapan sampai dengan  Wafat di kayu salib, dibawakan dengan cara dinyayikan oleh petugas sesuai dengan peran masing-masing.
Jam 3 sore ini, semoga aq bisa membawakan passio ini dengan baik, di sela kondisi tenggorokan yang sudah tidak sehat akibat latihan koor yang ‘berlebihan’ tahun ini. hahaha.
God Bless Me ! 😀
FIXIE.. ada yg belum pernah dengar istilah ini?? keterlaluan kalau belum pernah. Trendnya udah ke mana-mana loh. Di kota-kota besar apalagi, sudah biasa sekumpulan anak muda bawa sepeda yg unik ini!. Kalau jaman dulu dikenal sepeda Torpedo, fixie ini ya mungkin kurang lebih lah sepertinya yang pasti sesuai namanya fixed gear, sepeda ini gearnya mati! mau dikayuh ke belakang atau ke depan sama saja bisa jalan terus, tidak seperti sepeda biasa.
Menurut wikipedia, FIXIE adalah sebagai berikut :
A fixed-gear bicycle (or fixed-wheel bicycle, sometimes known in the USA as a fixie) is a bicycle that has no freewheel, meaning it cannot coast — the pedals are always in motion when the bicycle is moving.
The sprocket is screwed or bolted directly onto a fixed hub. When the rear wheel turns, the pedals turn in the same direction.[1] This allows a cyclist to stop without using a brake, by resisting the rotation of the cranks, and also to ride in reverse.
Nah, ngomongin Fixie di Ketapang nih, (sepertinya) masih termasuk barang baru. Tidak bermaksud berlebihan, tapi kayaknya memang baru ada beberapa bulan terakhir ini loh, belum pernah terlihat berseliweran di jalanan Ketapang sebelum saya dan akho rakit FIXIE kembar beda warna (Semoga tidak salah) ini :
Ide awalnya sampai bisa merakit fixie ini sebenarnya tidak terlalu jelas juga, yang pasti sih karna niatan untuk bersepeda yang sudah menggebu-gebu. Ada pikiran awal ingin cari MTB, trus ikut komunitas MTB di Ketapang yang katanya sering turing ke mana-mana. Tapi setelah melalui observasi beberapa saat sepertinya tidak memungkinkan. Harganya terlalu berlebihan! saya tidak mampu beli! hahaha, kalau dipaksakan beli MTB harga standar, sepertinya lebih susah lagi untuk bisa “IN†di komunitas, ngomong serba tidak nyambung. sebuah fork aja bisa sampai belasan juta. belum framenya lagi T_T.
Untungnya, muncullah sesosok akho dengan ide brilliannya di BBm. Rakit FIXIE saja! biar jadi trendsetter di Ketapang! rajin ni anak yg pada akhirnya bertugas berburu part FIXIE di seantero KASKUS . Merakit FIXIE perdana yang pada akhirnya harus overbudget. Budget yang seharusnya ditambah D60+35mm ku udah bisa dapat D7000 BO ini dengan sangat tidak terpaksa ditransfer ke seller yang entah berantah itu, yang udah bikin Harap-Harap Cemas gak karuan,Anjirr! haha. Tidak lebih, semuanya karena nafsu menggebu-gebu pengen punya FIXIE.
Penantian berbulan-bulan berakhir! paket FIXIE datang euy. Unboxing! ga sabaran.. udah kayak pinter rakit sendiri aja akho ni haha.
Terpaksalah berbagi bengkel supaya kedua FIXIE cepat kelar dirakit. Saya ke bengkel Dr.Sutomo, akho ke bengkel seberang jembatan Pawan I, yang walaupun kurang memuaskan karena terjadi sedikit kecerobohan orang di bengkel, akhirnya jadi juga. Seatpost dan bullhorn dipasang terbalik! xixi.
Ada kepuasan tersendirilah setelah FIXIE ini jadi. Walaupun jarang gowes berdua, karena keterbatasan waktu dan kesempatan, tapi yang jelas racun FIXIE sudah ditebar di Ketapang. Tinggal menunggu waktu kawan-kawan yang terjangkit virus ini bermunculan satu persatu *lirik2 anak2 AMBA dengan proyek FIXIE 1juta nya. ihiir!
Satu saat nanti, pasti bakal ramai anak-anak FIXIE ngumpul gowes bareng , dan mungkin salah duanya adalah saya dan akho !
(saya!)
(akho ! )
( Ini pacarku.. hihi )