ISTIMEWA
Tim ekspedisi mengabadikan pembuatan lampit di Dusun Sempadian. Tampak tudung saji di sebelah kanan.
Pagi menjejak sinar hangat, dan satu jam perjalanan dari Sesa Sengkuang, membawa tim Pedahasan Tikar Selembar ke Dusun Sempadian. Pemandangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, terbentang di depan mata.
Apa yang selama ini hanya mereka dengar, kini sudah benar-benar nyata! Doni menuturkan, mereka segera membaur dengan aktivitas masyarakat yang sudah dijalankan turun-temurun.
“Mereka mengerjakan banyak perabot rumah tangga dari bahan rotan. Ada tikar yang disebut lampit, tudung saji, keranjang untuk sepeda motor, dan banyak lagi. Hampir di tiap rumah, aktivitas itu ada dan anak-anak muda begitu fasihnya mengerjakan anyaman,” tutur Doni.
Mereka pun berbagi peran. Pipensius bertugas mengumpulkan informasi dan melakukan wawancara dengan banyak orang. Erik dan Doni memotret setiap aktivitas, dan ada juga yang mendokumentasikan dengan handycam.
Mereka membuat skenario: dimulai dari aktivitas mengambil rotan di hutan, membersihkannya di sungai, mengeringkan rotan, membelah, dan mengerjakan anyaman.
Doni dan Erik yang lahir dan dibesarkan di kota, menemukan kehidupan yang selama ini hanya diketahui lewat televisi atau koran. Ini kali pertama mereka mendatangi tempat terpencil itu, dan sempat khawatir ketika naik sampan di tengah sungai yang airnya masih jernih dan sejuk.
“Kami bisa memahami, mengapa warga di dusun ini menolak keras masuknya perkebunan kelapa sawit. Sebab mereka sangat tergantung pada hasil hutan berupa rotan,” ujar Doni.
Pipensius mencatat, aktivitas warga membuat kerajinan bukanlah sambilan pengisi waktu luang. Tapi semua itulah pekerjaan utama yang menjadi penyokong kehidupan mereka.
“Pekerjaannya sangat rumit, dalam satu bulan seseorang hanya bisa menghasilkan dua helai lampit ukuran 3 meter kali 5 meter. Sebuah lampit dijual kisaran Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Jadi sebulan kemungkinan hanya menghasilkan Rp 300 ribu,” ujar Pipensius.
Harga itu menjadi fantastis jika berhasil dibawa ke Kota Ketapang, karena sehelai lampit dihargai Rp 400 ribu! Sayang, buruknya infrastruktur jalan, ditambah banyaknya pungutan liar di mitingan, membuak akses kerajinan bernilai tinggi itu jarang bisa menjangkau ibu kota kabupatennya sendiri.
Ekspedisi kecil-kecilan ini, membuka mata mereka, betapa potensi di daerah sendiri, ternyata justru lebih berharga di provinsi tetangga. Akses sungai lebih memungkinkan kerajinan rotan itu dipasarkan di Kalimantan Tengah. (severianus endi/selesai)
Leave a Reply